TITIKNEWS.COM – Bahasa, sebuah hasil warisan budaya, menciptakan jalinan komunikasi yang tak tergantikan di antara sesama manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang diadopsi oleh anggota masyarakat untuk berkolaborasi, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Lebih
dari sekadar alat komunikasi, bahasa juga mencerminkan kekayaan budaya suatu bangsa, menciptakan percakapan, perilaku, serta etika yang baik dan sopan.
Bahasa Ibu dan Bahasa Daerah: Tafsir yang Berbeda
Dalam konteks Indonesia, bahasa ibu dan bahasa daerah seringkali disalahpahami.
Bahasa ibu merujuk pada percakapan pertama yang diperoleh anak dari keluarga terdekatnya dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Di perkotaan, bahasa Indonesia umumnya lebih dominan dibandingkan bahasa daerah setempat. Meskipun begitu, menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek, terdapat sekitar 718 bahasa daerah yang masih hidup.
Menurut Kepala Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra (PR PBS) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Katubi, perbedaan mendasar antara bahasa ibu dan bahasa daerah adalah proses perolehannya.
Bahasa ibu diperoleh anak-anak tanpa melalui pembelajaran formal di sekolah, sementara bahasa daerah digunakan oleh masyarakat di suatu wilayah.
Tantangan Terhadap Keberlanjutan Bahasa Daerah
Sayangnya, bahasa daerah menghadapi tantangan keberlanjutan di beberapa wilayah. Data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mencatat bahwa sejak 2017, 11 bahasa daerah di Indonesia telah dinyatakan punah.
Contohnya, bahasa Tandia di Teluk Wondama dan bahasa Air Matoa di Kaimana, keduanya di Provinsi Papua Barat. Bahasa Mapia di Kabupaten Supiori dan bahasa Mawes di Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua, juga telah hilang seiring berjalannya waktu.
Di Maluku dan Maluku Utara, tujuh bahasa daerah punah, seperti bahasa Kajeli, Piru, Moksela, Hukumina, Hoti, Nila, dan Serua. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan minat generasi muda dalam menggunakan bahasa daerah sehari-hari. Penyebabnya, antara lain, perkawinan antarsuku atau antarbangsa yang mengakibatkan kurangnya warisan bahasa daerah.
Dinamika Penggunaan Bahasa Daerah Menurut Generasi
Survei BPS pada 2023 mengungkapkan bahwa hanya 61,70 persen kelompok Post Gen Z (kelahiran 2013 ke atas) yang masih menggunakan bahasa daerah dengan tetangga atau kerabat. Generasi Z (kelahiran 1997-2012) mencapai 69,9 persen, sementara generasi milenial sekitar 72,26 persen. Di tingkat generasi X, angka penggunaan bahasa daerah turun menjadi 75,24 persen, dan generasi Baby Boomer masih mempertahankan sebanyak 80,32 persen.
Meskipun terlihat tingginya penggunaan bahasa daerah pada generasi Pre-boomer (85,24 persen), perlahan-lahan terlihat kecenderungan penurunan ini dari generasi ke generasi.
Revitalisasi Bahasa Daerah: Tanggung Jawab Bersama
Pemerintah berusaha membangkitkan kembali penggunaan bahasa daerah di berbagai wilayah. Dalam dunia pendidikan, bahasa daerah masih menjadi bagian kurikulum sebagai muatan lokal (mulok) bersama bahasa Indonesia. Program Merdeka Belajar dari Kemendikbudristek menjadi upaya penting dalam mempopulerkan kembali bahasa daerah.
Revitalisasi bahasa daerah dilakukan secara bertahap di 22 provinsi dengan mempertimbangkan sikap para penuturnya dan dampak globalisasi. Pembelajaran dan pendampingan berkelanjutan menjadi kunci kesuksesan program ini.
Mempertahankan bahasa ibu dan bahasa daerah bukan hanya tugas pemerintah. Masyarakat dan keluarga memiliki peran kunci dalam menjaga kelestarian dan memastikan bahasa daerah tetap hidup, berkembang, serta menjadi warisan budaya berharga bagi generasi mendatang.